Aku terdiam, membiarkan riuhnya dunia mereda dalam benak. Di taman kecil ini, waktu seolah membeku, memberiku jeda dari hiruk pikuk kehidupan. Mataku menyapu sekeliling, menangkap fragmen-fragmen cerita yang terhampar di hadapanku. Di antara tawa renyah anak-anak dan bisikan mesra sepasang kekasih, pandanganku terpaku pada sesosok penjual kecil. Di setiap akhir pekan, ia selalu ada, menawarkan dagangannya kepada para pengunjung taman.
Awalnya, kukira ia seorang siswa SMP, mengingat perawakan dan tingginya yang semampai. Namun, dugaanku meleset jauh. Ternyata, ia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Sebuah pelajaran berharga bahwa fisik tak selalu bisa menjadi penentu. Aku memutuskan untuk mendekat, membeli segelas chocolatos matcha darinya. Senyumnya yang tulus dan jemari mungilnya yang menyerahkan minuman membuat bibirku ikut melengkung tipis. Hati kecilku dipenuhi rasa bangga yang meluap-luap, seperti ombak yang menyentuh pantai. Anak asing ini, dengan caranya sendiri, telah memberiku secercah arti kehidupan.
Kami duduk berdua di bangku taman, ditemani semerbak aneka bunga yang merekah. Ku teguk perlahan matcha di tanganku, sembari memberanikan diri bertanya, "Kok kamu gak main sama teman atau kumpul sama keluarga, Dek?" Mataku menatap lekat bola matanya yang jernih, berharap ia mau berbagi kisah.
Ia terdiam sejenak, lalu dengan suara lirih namun penuh ketegaran, ia menjawab, "Nggak, Kak. Aku senang jualan, bisa bantu Nenek di rumah. Lagian, aku juga bisa beli barang kesukaanku sendiri." Ia melanjutkan ceritanya, kisahnya yang meluluhlantakkan batinku. "Ibu sama Bapak udah meninggal sekitar lima tahun yang lalu, Kak. Bapak pergi karena kanker, Ibu nggak kuat ditinggal Bapak beberapa bulan kemudian. Sekarang aku tinggal berdua sama Nenek. Aku senang banget masih punya Nenek di dunia ini." Hening sejenak, hanya suara burung yang berkicau memecah kesunyian. "Kadang, aku iri, Kak. Hidupku nggak sebahagia teman-temanku. Mereka bisa kumpul keluarga, liburan bareng, dan banyak hal lain yang aku inginkan. Tapi ya sudahlah, mungkin semesta memang punya rencana lain untukku. Apapun yang Tuhan takdirkan, pasti yang terbaik. Aku mencoba menerima dan berjalan dengan apa yang aku punya, Kak."
Air mataku mendesak, hampir saja tumpah. Aku menahannya sekuat tenaga, tak ingin terlihat lemah di hadapan ketegaran anak sekecil ini. "Wah, hebat banget kamu, dekkk. Kakak bangga sama kamu. Sini peluk!" Ucapku seraya mendekapnya erat. "Maaf ya, Kakak nggak tahu kalau Ibu sama Bapakmu sudah tiada." Dalam pelukanku, ia kembali bercerita banyak hal, tentang taman ini yang menjadi saksi bisu perjuangannya mencari rezeki. Sepulang sekolah, ia akan menjajakan minuman dan jajanan, berkeliling dari satu pengunjung ke pengunjung lain, dengan gigihnya menawarkan setiap barang dagangannya.
Uang hasil jualannya ia sisihkan, sebagian untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi untuk ditabung. Kegigihannya itu, entah mengapa, membuatku tersenyum. Terkadang, aku berpikir bahwa hidup ini terlalu banyak memberikan cobaan, namun di taman ini, aku mencoba memahami cara kerja semesta. Sosok anak kecil yang gigih, sepasang suami-istri yang mengajari anaknya berjalan, dua remaja yang mungkin sedang dimabuk cinta.
Aku senang berada di sana. Meskipun letaknya jauh dari rumah, taman ini justru menjadi tempat favoritku. Dari sana, aku belajar banyak tentang kehidupan. Sebuah taman yang tak begitu luas, namun sangat cocok untuk meluangkan waktu sejenak, menyepi bersama diri sendiri. Melihat sunset yang memerah di ufuk barat, bunga-bunga yang bermekaran cantik, kupu-kupu yang beterbangan bebas, semua itu menjadi beberapa hal yang paling kusukai di sana.
Anak itu melanjutkan jualannya. Dan aku, Aku menyeruput matcha hangat dalam cangkir di genggamanku. Aromanya yang khas, sedikit pahit namun menenangkan, menyusup perlahan, mengisi rongga dadaku dengan kedamaian. Ah, matcha! Bagiku, ia bukan sekadar minuman, melainkan sebuah teman setia yang selalu ada, menemani setiap pasang surut kehidupan. Di kala sedih, pahitnya menjadi pengingat bahwa hidup tak selalu manis, namun setelahnya ada kehangatan yang menenangkan. Saat hati berbunga ria, matcha turut merayakan, menghadirkan kesegaran yang membangkitkan semangat. Dan ketika stres melanda, setiap teguknya seperti bisikan lembut, menuntun pikiranku kembali pada ketenangan. Entah mengapa, ada sebagian orang yang menganggap rasanya seperti rumput. Pernah kubayangkan, jika aku begitu menyukai matcha, mungkin orang lain pun akan merasakan hal yang sama. Namun, kenyataannya tak selalu begitu.
Seperti halnya matcha, hidup pun penuh dengan selera yang berbeda. Apa yang kita cintai, apa yang memberi kita arti, belum tentu dipahami atau disukai oleh orang lain. Dan itu tidaklah mengapa. Ibarat matcha yang setia menemaniku dalam suka dan duka, begitu pula dalam hidup, kita akan menemukan hal-hal atau bahkan seseorang yang akan menjadi teman sejati, memahami kita apa adanya, tanpa perlu penjelasan panjang lebar.
Mungkin bukan setiap orang, mungkin hanya satu atau dua, tapi kehadiran mereka cukup untuk membuat perjalanan ini terasa bermakna. Jadi, biarkan saja mereka dengan preferensi "rumput" mereka, aku akan tetap menikmati matcha-ku, dan bersama dengannya, aku akan terus menjalani setiap babak kehidupan.
Sore itu, langit mulai merona jingga, memercikkan keemasan di antara dedaunan rimbun. Aku duduk di bangku taman, ditemani segelas matcha hangat yang mengepulkan aroma menenangkan. Dalam diam, kutatap matahari yang perlahan tenggelam, seolah menelan sisa-sisa kegelisahan. Seringkali, aku merasa hidup ini tak adil. Aku berusaha keras untuk bersikap acuh tak acuh pada pandangan orang lain, menjauh dari keramaian demi mencari kedamaian yang kuharap dapat kudapatkan.
Namun, seolah takdir gemar mempermainkan, selalu saja ada yang mengusik, tatapan iri yang terasa menusuk, bisikan-bisikan yang tak jarang membuat hatiku perih. Rasanya, setiap langkahku diawasi, setiap napasku dihakimi, seolah kehidupanku yang tenang ini adalah sesuatu yang harus mereka usik.
Di sinilah aku, di taman ini, di bawah lindungan senja yang syahdu. Pikiranku berkelana, membandingkan diri dengan para pengunjung lain. Ada pasangan yang tertawa lepas, ada anak-anak yang berlarian tanpa beban, seolah dunia ini hanya milik mereka.
Pertanyaan-pertanyaan tak beralasan itu kembali menghantam, mengapa ketenangan selalu terasa begitu mahal bagiku? Namun, pandanganku kembali tertuju pada matcha di tanganku. Hangatnya menelusup, mengingatkanku bahwa terlepas dari hiruk pikuk di luar sana, ada hal-hal kecil yang masih bisa kunikmati, yang mampu menenangkan badai dalam diriku.
Senja ini, matcha ini, dan ketenangan yang kurasakan di taman ini, adalah milikku. Biarlah mereka beranggapan apa, karena bagiku, kedamaian sejati ada di dalam diri, jauh dari jangkauan pandangan dan penilaian mereka.
Komentar
Posting Komentar