Senin?

Senin, sebuah hari yang tak akan pernah kulupakan. Hari itu, semesta seolah-olah bersekutu untuk memberiku sebuah pelajaran hidup yang berharga. Pagi itu, seperti biasa, aku bersujud dalam doa. Kumohon pada-Nya agar hariku dilancarkan, agar segala urusanku dimudahkan. Namun, Tuhan memiliki cara-Nya sendiri untuk mengabulkan doa, dan ternyata "dilancarkan" tidak selalu berarti tanpa hambatan.

Pagi yang cerah tiba-tiba berubah kelabu. Motorku, satu-satunya andalanku, ternyata mengalami masalah serius. Aku menyegerakan kebengkel dan menunggu perbaikan. Seusai selesai, aku pulang kerumah untuk makan terlebih dahulu sebelum kekampus. Ternyata Oli motorku membasahi lantai rumah. Makan selesai, aku menyegerakan menuju bengkel tadi dan membiarkan motorku diperbaiki kembali. 

Ketika di rumah, air mata tak terbendung. Oli menetes kelantai, sedangkan aku harus bergegas cepat ke Kampus. Panik, frustrasi, dan rasa tak berdaya menyelimuti. Jadwal kuliah sudah mepet, dan aku terjebak dalam situasi yang tak terduga. Kupandangi sekeliling, berharap ada seseorang yang bisa kuminta tolong. Kakakku sedang sibuk, tak bisa mengantarku. Ponselku hening. Tidak ada yang bisa membantu, selain diriku sendiri. Di titik terendah itu, aku sadar bahwa aku hanya punya dua sandaran: Tuhan dan Diriku sendiri.

Dengan sisa-sisa keberanian, kutarik napas dalam-dalam. Aku tidak boleh menyerah. Aku pesan ojek daring dan kembali ke bengkel. Kucoba mengatur napas, menenangkan hati yang masih bergemuruh. Tak lama kemudian, seorang kakek tua datang. Beliau adalah pengemudi ojek yang kupesan. Wajahnya ramah, tapi pandangan matanya meneduhkan. "Maaf, Neng," katanya. "Lokasinya salah, jadi saya muter-muter tadi." Rasa bersalah menyeruak, tapi aku hanya bisa meminta maaf, menjelaskan bahwa pikiranku sedang kacau. Kakek itu tersenyum maklum.

Perjalanan singkat menuju terminal terasa seperti perjalanan panjang. Di dalam hati, aku terus merapalkan doa. Sesampainya di terminal, bus yang akan membawaku ke tempat temanku belum juga tiba. Waktu sudah menunjukkan waktu Duhur. Kepanikanku kembali datang. Bagaimana jika aku terlambat? Aku memejamkan mata, membiarkan angin sepoi-sepoi menenangkan jiwaku. Aku harus percaya, ada jalan keluar.

Saat bus datang dan aku melangkah masuk, sebuah kesadaran menghantamku. Hari itu, semesta bukan mengujiku, melainkan mengajariku. Mengajariku tentang ketabahan, kesabaran, dan ketangguhan. Selama ini, aku selalu merasa bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Hari itu, aku merasakan sebaliknya. Saat aku sangat membutuhkan orang lain, tak ada yang bisa membantuku secara langsung. Namun, justru dalam kesendirian itulah aku menemukan kekuatanku. Kekuatan untuk bangkit, mencari solusi, dan tidak menyerah.

Mungkin, ini cara Tuhan memelukku. Selama beberapa bulan terakhir, aku seperti kehilangan semangat hidup. Masalah-masalah yang menumpuk membuatku merasa hampa. Namun, peristiwa kecil di hari Senin itu memberiku secercah harapan. Ini adalah cara-Nya membangkitkanku kembali, mengingatkanku bahwa seberat apa pun badai, aku harus berdiri tegak.

Terima kasih, Senin itu. Terima kasih, ya Tuhan. Kau mengajarkanku untuk tidak hanya mengandalkan orang lain, tetapi juga untuk percaya pada diriku sendiri. Kau mengajarkanku bahwa doa tidak selalu dijawab dengan kemudahan, tapi dengan kekuatan untuk menghadapi kesulitan. Dan hari itu, aku merasa hidup kembali. Tidak lagi hampa, tidak lagi putus asa. Aku siap menghadapi hari esok, apa pun yang terjadi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Talk Show "Kepenulisan" Di Perpustakaan UMP

Laut: Heavenly

Taman, Matcha, dan Kehidupan